Friday, April 19, 2013

Eksperimen Milgram



           

A). Pendahuluan


Manusia, sebagai makhluk individu dan sosial yang diciptakan oleh Tuhan telah ditanamkan sebuah kewajiban dan keinginan untuk berbuat perbuatan baik dimana saja dan kapan saja. Adalah merupakan suatu hal yang wajar jika manusia ingin menjadi orang yang berperilaku baik dan berekelakuan sopan di mata orang lain, dalam kata lain menjadi manusia ideal berdasarkan standar masyarakat, karena akan banyak keuntungan yang akan didapatkan. Selain akan mendapatkan suatu kepuasan tersendiri, orang lain akan merasa senang dengan perbuatan baik tersebut, sehingga menjadikan individu tersebut menjadi lebih disukai dan akan dipandang dengan kacamata positif. Hal-hal tersebut merupakan aspek yang sangat penting dan berguna untuk dimiliki dikarenakan kita hidup di kumpulan masyarakat dimana anggapan dan opini orang lain terhadap diri kita masing-masing sangat berperan penting dalam menjalani kehidupan, karena semakin banyak orang yang menyukai kita, akan semakin besar kemungkinan kita akan dibantu dalam masalah-masalah yang akan kita hadapi suatu saat nanti, sehingga dalam menjalani kehidupan akan semakin dimudahkan.

           

B). Isi


Beberapa faktor penting yang dapat dijadikan sebuah latar belakang mengapa
individu-individu di dalam masyarakat menjadikan berperakuan baik dan pantas sebagai patokan bahwa seseorang adalah individu “ideal” salah satunya adalah agama atau kepercayaan yang dianut. Hampir semua agama, contohnya Islam, mengajak penganutnya agar selalu berbuat baik kepada sesama agar mendapatkan pahala. Orang-orang yang selalu berusaha berbuat baik maka otomatis akan mendapatkan banyak pahala, sehingga akan semakin meningkatkan kemungkinan ia akan mendapatkan kehidupan baik di dunia maupun di akhirat. Faktor lain adalah kesadaran bahwa individu-individu yang tidak berbuat baik, tetapi berbuat di luar batas, yang mana di luar batas itu adalah ke arah yang negatif,  akan dipandang pula dalam pandangan yang negatif, sehingga akan dijauhi oleh masyarakat dan menjadikan kehidupan mereka lebih susah untuk dijalani, karena semakin sedikitnya yang ingin membantu mereka.


            Terkadang, kita sering membayangkan sebuah situasi yang melibatkan sebuah masalah tertentu dimana kita akan pasti berbuat yang sepantasnya, sesulit maupun serumit apapun. Sebagai contoh  sederhana, sebagai seorang pelajar, merupakan salah satu kewajiban yang utama untuk mengerjakan dan menyelesaikan pekerjaan rumah, atau PR, yang diberikan oleh guru. Namun, jika kita lupa ataupun malas mengerjakan PR yang diberikan, maka kemungkinan besar kita akan ditegur ataupun dimarahi oleh sang guru. Nah, coba kita bayangkan misal kalau kita malas mengerjakan tugas tersebut, walaupun sang guru telah memperingatkan beberapa kali tentang PR tersebut. Saat akan dimarahi guru, kemungkinan besar kita akan berpikir bahwa kita akan mengatakan yang sejujurnya bahwa kita malas mengerjakan PR tersebut, tidak memberikan alasan atau berbohong seperti kita lupa membawa PR tersebut atau tidak tahu kalau diberikan tugas, walaupun kita akan dimarahi, karena itu merupakan perbuatan yang sepantasnya. Tapi apakah kita akan berbuat yang sepantasnya? Apakah kita akan mengatakan yang sejujurnya? Atau malah sebaliknya, kita menjadi takut dimarahi dan berbohong? 


Contoh diatas memberikan gambaran sedikit tentang apa yang akan dibahas pada artikel ini, tetapi contoh diatas mempunyai kekurangan agar menjadi contoh yang betul-betul sesuai. Maka, akan diberikan contoh yang lainnya. Coba bayangkan kita ada di sebuah suasana ujian sekolah. Setelah sang pengawas memberikan lembar jawaban dan soal, pengawas menginstruksikan kita untuk terlebih dahulu tata tertib yang tertera di lembar soal, agar saat dalam proses mengerjakan ujian, tidak ada kesalahan yang terjadi. Dalam tata tertib tersebut, tertulis salah satu aturan yang menyatakan bahwa dalam ujian ini, para peserta ujian tidak diperbolehkan untuk membuka buku pelajaran maupun catatan. Tetapi, tiba-tiba sang pengawas mengatakan bahwa diperbolehkan untuk membuka buku pelajaran maupun catatan, dengan alasan bahwa soal-soal yang diujikan akan sulit untuk diselesaikan tanpa menggunakan referensi yang ada pada buku pelajaran. Beberapa peserta ujian menanyakan kembali apakah memang betul diperbolehkan untuk membuka buku, karena sudah tertera jelas di dalam tata tertib bahwa tidak diperbolehkan untuk  membuka buku. Sang pengawas beralasan bahwa diadakan pertemuan mendadak sebelum ujian dengan hasil sepakat bahwa diperbolehkan untuk membuka buku khusus hanya untuk ujian tersebut. Karena pertemuan tersebut mendadak, sehingga tata tertib di dalam lembar soal tidak sempat diperbaiki. Nah, apa yang akan kita lakukan dalam situasi seperti itu? Apakah kita tetap tidak akan membuka buku karena ragu akan  kevalidasian alasan sang pengawas ? Atau mengikuti apa yang dikatakan pengawas bahwa boleh membuka buku, karena pengawas tersebut merupakan salah satu staff pengajar di sekolah tersebut sehingga dapat dipercaya, dan walaupun pengawas tersebut salah, itu bukan merupakan kesalahan kita karena pengawas tersebut berbohong?


            Berikutnya, akan diberikan lagi contoh situasi lainnya, tapi kali ini akan lebih berbobot. Coba bayangkan anda adalah seorang yang berkebangsaan Jerman pada masa Perang Dunia II. Walaupun anda adalah orang Jerman, tetapi anda kurang setuju dengan cara kepemimpinan Hitler karena kediktatorannya dan ia juga banyak menindas bahkan membunuh banyak orang tak bersalah, sehingga anda tidak mendukung Hitler. Tetapi, anda diwajibkan sebagai orang Jerman untuk menjadi salah satu tentara Jerman yang akan berperang melawan tentara Sekutu. Dengan paksaan, anda menjadi salah satu tentara Jerman walaupun sebenarnya anda tidak ingin. Nah, suatu ketika, anda sebagai pimpinan pasukan anda diperintahkan oleh atasan anda yang sedang berkunjung ke pos tempat anda bertugas untuk membunuh massal para tawanan perang, yang berjumlah sekitar 50 orang. Mulanya anda menolak untuk menjalani perintah tersebut, karena anda tahu itu bukan merupakan perbuatan yang pantas dan tidak ada alasan untuk membunuh para tawanan. Tetapi, atasan anda tetap memaksa anda. Anda berusaha menolak lagi, tetapi atasan anda memaksa anda lagi. Apakah yang akan anda lakukan? Berusaha menolak sampai anda diperbolehkan untuk tidak membunuh para tawanan, atau mengikuti perintah atasan anda karena itu merupakan sebuah perintah dan harus anda patuhi?


            Nah, isu-isu inilah yang akan dibahas di dalam artikel ini. Contoh-contoh diatas diberikan untuk memberikan gambaran atas sebuah eksperimen yang akan dibahas di artikel ini. Eksperimen ini dijalankan oleh seorang Psikologis dari Universitas Yale pada tahun 1960-an yang bernama Stanley Milgram, sehingga eksperimen ini lebih sering disebut dengan nama Eksperimen Milgram (Milgram Experiment). Milgram membuat eksperimen ini karena ingin mencari penjelasan mengapa orang-orang biasa yang sebelumnya tidak pernah berkelakuan jahat dan menjalani kehidupan secara biasa-biasa saja, dapat menjadi salah seorang pelaku genosida atau pembunuhan massal pada Perang Dunia II, dimana alasan mereka adalah mereka hanya mengikuti perintah.


            Milgram merekrut orang-orang biasa sebagai subjek eksperimennya dengan membuat iklan di dalam surat kabar dengan menawarkan upah sebesar $4.50. Pertama, para subjek dibohongi bahwa eksperimen ini adalah eksperimen untuk metode pembelajaran. Para subyek dibagi menjadi seorang “Guru” dan seorang “Murid”, tetapi sebenarnya sang “murid” merupakan seorang aktor yang bekerjasama dengan Milgram. Ada juga aktor lain yang bertugas menjadi sang “eksperimenter”  nya (bukan Milgram).


            Kemudian dijelaskan bahwa tugas dari guru adalah memberikan pertanyaan-pertanyaan yang akan dijawab oleh murid, dimana jika sang murid salah menjawab, maka guru akan memberikan murid aliran listrik dari sebuah alat generator listrik yang sudah dipersiapkan. Aliran listrik yang akan diberikan dimulai dari 30 volt dan akan terus dinaikkan sebanyak 15 volt sampai batas akhir 450 volt. Generator nya juga diberikan tulisan-tulisan seperti:
"slight shock", "moderate shock", "strong shock", "very strong shock", "intense shock", "extreme intensity shock." ,"Danger: Severe Shock","XXX" sesuai alirannya untuk menambah kengerian dari generator tersebut. Tetapi, tanpa diketahui oleh sang guru, tidak ada aliran listrik yang diterima oleh murid, si murid hanya berpura-pura menerima aliran listrik.


            Seiring dengan meningkatnya aliran listrik yang dialirkan, sang murid akan memberikan reaksi-reaksi yang makin lama makin mengkhawatirkan, seperti:
- bersungut pada aliran 75 volt,
- mengkomplain  pada aliran 120 volt,
- meminta untuk meninggalkan eksperimen pada aliran 150 volt;
- meminta untuk keluar dengan intensitas yang lebih besar;
- berteriak kesakitan pada aliran 285 volt;
- berteriak dan megkomplain kesakitan pada bagian hati
Saat aliran mencapai 300-an volt, si murid  akan menjadi diam dan tidak mau menjawab lagi.
Eksperimen ini mengukur sampai mana sang guru akan terus memberikan aliran listrik kepada murid, apakah ia akan berhenti atau terus memberikan aliran listrik.
Jika sang guru mengatakan ingin berhenti, maka sang eksperimenter memberikan perintah-perintah agar eksperimen dilanjutkan:
  1. "Please continue."
  2. "The experiment requires that you continue."
  3. "It is absolutely essential that you continue."
  4. "You have no other choice, you must go on."

C). Penutup


            Hasil yang didapat kan oleh Milgram sungguh mengejutkan. Sebelumnya Milgram mengasumsikan bahwa hanya sedikit subjek yang akan terus memberikan aliran listrik sampai ke batas akhir dan kebanyakan akan berhenti. Juga sebelumnya Milgram telah melakukan survey kepada mahasiswa Universitas Yale dan mendapatkan hasil bahwa mereka memprediksikan hanya 3 dari 100 partisipan yang akan terus memberikan aliran listrik  sampai batas akhir. Ternyata, hasil yang didapatkan dari eksperimen adalah 65% dari para subjek yang memberikan aliran listrik sampai batas akhir. Mengapa bisa begitu? Milgram menjelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi keaptuhan para subjek:

- Dengan hadirnya seorang figur otoritas (sang eksperimenter) menambah kepatuhan subjek.
- Fakta bahwa eksperimen yang dilakukan disponsori oleh Universitas Yale (sebuah institusi
   akademik yang terpercaya) menambah anggapan bahwa eksperimen yang dilakuakan itu aman.
- Pemilihan “guru” dan “murid” kelihatan acak dari sudut pandang subjek.
- Para subjek menganggap bahwa sang “eskperimenter” adalah seorang ahli yang berkompetensi.
- Aliran listrik yang diterima murid dikatakan hanya menyakitkan, tidak membahayakan.


Sumber: - http://psychology.about.com/od/historyofpsychology/a/milgram.htm
              - http://nature.berkeley.edu/ucce50/ag-labor/7article/article35.htm
              - http://www.simplypsychology.org/milgram.html    

No comments:

Post a Comment