A). Pendahuluan
Manusia,
sebagai makhluk individu dan sosial yang diciptakan oleh Tuhan telah ditanamkan
sebuah kewajiban dan keinginan untuk berbuat perbuatan baik dimana saja dan
kapan saja. Adalah merupakan suatu hal yang wajar jika manusia ingin menjadi
orang yang berperilaku baik dan berekelakuan sopan di mata orang lain, dalam
kata lain menjadi manusia ideal berdasarkan standar masyarakat, karena akan
banyak keuntungan yang akan didapatkan. Selain akan mendapatkan suatu kepuasan
tersendiri, orang lain akan merasa senang dengan perbuatan baik tersebut,
sehingga menjadikan individu tersebut menjadi lebih disukai dan akan dipandang
dengan kacamata positif. Hal-hal tersebut merupakan aspek yang sangat penting dan
berguna untuk dimiliki dikarenakan kita hidup di kumpulan masyarakat dimana
anggapan dan opini orang lain terhadap diri kita masing-masing sangat berperan
penting dalam menjalani kehidupan, karena semakin banyak orang yang menyukai
kita, akan semakin besar kemungkinan kita akan dibantu dalam masalah-masalah
yang akan kita hadapi suatu saat nanti, sehingga dalam menjalani kehidupan akan
semakin dimudahkan.
B). Isi
Beberapa
faktor penting yang dapat dijadikan sebuah latar belakang mengapa
individu-individu di
dalam masyarakat menjadikan berperakuan baik dan pantas sebagai patokan bahwa
seseorang adalah individu “ideal” salah satunya adalah agama atau kepercayaan
yang dianut. Hampir semua agama, contohnya Islam, mengajak penganutnya agar
selalu berbuat baik kepada sesama agar mendapatkan “pahala”. Orang-orang
yang selalu berusaha berbuat baik maka otomatis akan mendapatkan banyak pahala,
sehingga akan semakin meningkatkan kemungkinan ia akan mendapatkan kehidupan
baik di dunia maupun di akhirat. Faktor lain adalah kesadaran bahwa individu-individu
yang tidak berbuat baik, tetapi berbuat di luar batas, yang mana di luar batas
itu adalah ke arah yang negatif, akan
dipandang pula dalam pandangan yang negatif, sehingga akan dijauhi oleh
masyarakat dan menjadikan kehidupan mereka lebih susah untuk dijalani, karena
semakin sedikitnya yang ingin membantu mereka.
Terkadang, kita sering membayangkan
sebuah situasi yang melibatkan sebuah masalah tertentu dimana kita akan pasti
berbuat yang sepantasnya, sesulit maupun serumit apapun. Sebagai contoh sederhana, sebagai seorang pelajar, merupakan
salah satu kewajiban yang utama untuk mengerjakan dan menyelesaikan pekerjaan
rumah, atau PR, yang diberikan oleh guru. Namun, jika kita lupa ataupun malas
mengerjakan PR yang diberikan, maka kemungkinan besar kita akan ditegur ataupun
dimarahi oleh sang guru. Nah, coba kita bayangkan misal kalau kita malas
mengerjakan tugas tersebut, walaupun sang guru telah memperingatkan beberapa
kali tentang PR tersebut. Saat akan dimarahi guru, kemungkinan besar kita akan
berpikir bahwa kita akan mengatakan yang sejujurnya bahwa kita malas mengerjakan
PR tersebut, tidak memberikan alasan atau berbohong seperti kita lupa membawa
PR tersebut atau tidak tahu kalau diberikan tugas, walaupun kita akan dimarahi,
karena itu merupakan perbuatan yang sepantasnya. Tapi apakah kita akan berbuat
yang sepantasnya? Apakah kita akan mengatakan yang sejujurnya? Atau malah
sebaliknya, kita menjadi takut dimarahi dan berbohong?
Contoh
diatas memberikan gambaran sedikit tentang apa yang akan dibahas pada artikel
ini, tetapi contoh diatas mempunyai kekurangan agar menjadi contoh yang
betul-betul sesuai. Maka, akan diberikan contoh yang lainnya. Coba bayangkan
kita ada di sebuah suasana ujian sekolah. Setelah sang pengawas memberikan
lembar jawaban dan soal, pengawas menginstruksikan kita untuk terlebih dahulu
tata tertib yang tertera di lembar soal, agar saat dalam proses mengerjakan
ujian, tidak ada kesalahan yang terjadi. Dalam tata tertib tersebut, tertulis
salah satu aturan yang menyatakan bahwa dalam ujian ini, para peserta ujian
tidak diperbolehkan untuk membuka buku pelajaran maupun catatan. Tetapi,
tiba-tiba sang pengawas mengatakan bahwa diperbolehkan untuk membuka buku
pelajaran maupun catatan, dengan alasan bahwa soal-soal yang diujikan akan sulit
untuk diselesaikan tanpa menggunakan referensi yang ada pada buku pelajaran.
Beberapa peserta ujian menanyakan kembali apakah memang betul diperbolehkan
untuk membuka buku, karena sudah tertera jelas di dalam tata tertib bahwa tidak
diperbolehkan untuk membuka buku. Sang
pengawas beralasan bahwa diadakan pertemuan mendadak sebelum ujian dengan hasil
sepakat bahwa diperbolehkan untuk membuka buku khusus hanya untuk ujian
tersebut. Karena pertemuan tersebut mendadak, sehingga tata tertib di dalam
lembar soal tidak sempat diperbaiki. Nah, apa yang akan kita lakukan dalam
situasi seperti itu? Apakah kita tetap tidak akan membuka buku karena ragu akan
kevalidasian alasan sang pengawas ? Atau
mengikuti apa yang dikatakan pengawas bahwa boleh membuka buku, karena pengawas
tersebut merupakan salah satu staff pengajar di sekolah tersebut sehingga dapat
dipercaya, dan walaupun pengawas tersebut salah, itu bukan merupakan kesalahan
kita karena pengawas tersebut berbohong?
Berikutnya, akan diberikan lagi
contoh situasi lainnya, tapi kali ini akan lebih berbobot. Coba bayangkan anda
adalah seorang yang berkebangsaan Jerman pada masa Perang Dunia II. Walaupun
anda adalah orang Jerman, tetapi anda kurang setuju dengan cara kepemimpinan
Hitler karena kediktatorannya dan ia juga banyak menindas bahkan membunuh banyak
orang tak bersalah, sehingga anda tidak mendukung Hitler. Tetapi, anda
diwajibkan sebagai orang Jerman untuk menjadi salah satu tentara Jerman yang
akan berperang melawan tentara Sekutu. Dengan paksaan, anda menjadi salah satu
tentara Jerman walaupun sebenarnya anda tidak ingin. Nah, suatu ketika, anda
sebagai pimpinan pasukan anda diperintahkan oleh atasan anda yang sedang
berkunjung ke pos tempat anda bertugas untuk membunuh massal para tawanan
perang, yang berjumlah sekitar 50 orang. Mulanya anda menolak untuk menjalani
perintah tersebut, karena anda tahu itu bukan merupakan perbuatan yang pantas
dan tidak ada alasan untuk membunuh para tawanan. Tetapi, atasan anda tetap
memaksa anda. Anda berusaha menolak lagi, tetapi atasan anda memaksa anda lagi.
Apakah yang akan anda lakukan? Berusaha menolak sampai anda diperbolehkan untuk
tidak membunuh para tawanan, atau mengikuti perintah atasan anda karena itu merupakan
sebuah perintah dan harus anda patuhi?
Nah,
isu-isu inilah yang akan dibahas di dalam artikel ini. Contoh-contoh diatas
diberikan untuk memberikan gambaran atas sebuah eksperimen yang akan dibahas di
artikel ini. Eksperimen ini dijalankan oleh seorang Psikologis dari Universitas
Yale pada tahun 1960-an yang bernama Stanley
Milgram, sehingga eksperimen ini lebih sering disebut dengan nama Eksperimen Milgram (Milgram Experiment).
Milgram membuat eksperimen ini karena ingin mencari penjelasan mengapa
orang-orang biasa yang sebelumnya tidak pernah berkelakuan jahat dan menjalani
kehidupan secara biasa-biasa saja, dapat menjadi salah seorang pelaku genosida
atau pembunuhan massal pada Perang Dunia II, dimana alasan mereka adalah mereka
hanya mengikuti perintah.
Milgram merekrut orang-orang biasa
sebagai subjek eksperimennya dengan membuat iklan di dalam surat kabar dengan
menawarkan upah sebesar $4.50. Pertama,
para subjek dibohongi bahwa eksperimen ini adalah eksperimen untuk metode
pembelajaran. Para subyek dibagi menjadi seorang “Guru” dan seorang “Murid”,
tetapi sebenarnya sang “murid” merupakan
seorang aktor yang bekerjasama dengan Milgram. Ada juga aktor lain yang
bertugas menjadi sang “eksperimenter” nya (bukan Milgram).
Kemudian dijelaskan bahwa tugas dari
guru adalah memberikan pertanyaan-pertanyaan yang akan dijawab oleh murid,
dimana jika sang murid salah menjawab, maka guru akan memberikan murid aliran
listrik dari sebuah alat generator listrik yang sudah dipersiapkan. Aliran
listrik yang akan diberikan dimulai dari 30 volt dan akan terus dinaikkan
sebanyak 15 volt sampai batas akhir 450 volt. Generator nya juga diberikan
tulisan-tulisan seperti:
"slight
shock", "moderate shock", "strong shock", "very
strong shock", "intense shock", "extreme intensity
shock." ,"Danger: Severe Shock","XXX" sesuai alirannya untuk menambah
kengerian dari generator tersebut. Tetapi, tanpa diketahui oleh sang guru,
tidak ada aliran listrik yang diterima oleh murid, si murid hanya berpura-pura
menerima aliran listrik.
Seiring dengan meningkatnya aliran
listrik yang dialirkan, sang murid akan memberikan reaksi-reaksi yang makin
lama makin mengkhawatirkan, seperti:
- bersungut pada
aliran 75 volt,
- mengkomplain pada aliran 120 volt,
- meminta untuk
meninggalkan eksperimen pada aliran 150 volt;
- meminta untuk keluar
dengan intensitas yang lebih besar;
- berteriak kesakitan
pada aliran 285 volt;
- berteriak dan
megkomplain kesakitan pada bagian hati
Saat aliran mencapai
300-an volt, si murid akan menjadi diam dan tidak mau menjawab
lagi.
Eksperimen ini
mengukur sampai mana sang guru akan terus memberikan aliran listrik kepada
murid, apakah ia akan berhenti atau terus memberikan aliran listrik.
Jika sang guru
mengatakan ingin berhenti, maka sang eksperimenter memberikan perintah-perintah
agar eksperimen dilanjutkan:
- "Please continue."
- "The experiment requires that you continue."
- "It is absolutely essential that you continue."
- "You have no other choice, you must go on."
C). Penutup
Hasil yang didapat kan oleh Milgram
sungguh mengejutkan. Sebelumnya Milgram mengasumsikan bahwa hanya sedikit
subjek yang akan terus memberikan aliran listrik sampai ke batas akhir dan
kebanyakan akan berhenti. Juga sebelumnya Milgram telah melakukan survey kepada
mahasiswa Universitas Yale dan mendapatkan hasil bahwa mereka memprediksikan hanya
3 dari 100 partisipan yang akan terus memberikan aliran listrik sampai batas akhir. Ternyata, hasil yang
didapatkan dari eksperimen adalah 65% dari para subjek yang memberikan aliran
listrik sampai batas akhir. Mengapa bisa begitu? Milgram menjelaskan beberapa
faktor yang mempengaruhi keaptuhan para subjek:
- Dengan hadirnya
seorang figur otoritas (sang eksperimenter) menambah kepatuhan subjek.
- Fakta bahwa
eksperimen yang dilakukan disponsori oleh Universitas Yale (sebuah institusi
akademik yang terpercaya) menambah anggapan
bahwa eksperimen yang dilakuakan itu aman.
- Pemilihan “guru”
dan “murid” kelihatan acak dari sudut pandang subjek.
- Para subjek
menganggap bahwa sang “eskperimenter” adalah seorang ahli yang berkompetensi.
- Aliran listrik yang
diterima murid dikatakan hanya menyakitkan, tidak membahayakan.
Sumber: - http://psychology.about.com/od/historyofpsychology/a/milgram.htm
- http://nature.berkeley.edu/ucce50/ag-labor/7article/article35.htm
- http://www.simplypsychology.org/milgram.html